|
|
![](https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjMDXdsNPKHKPTHlOqqpN0MXAJhYoU-PHPiVaxhRXMTxX_sFS51b3HyPgcMSsWJmYcTHXyCjzRgGP7XpzZ6Q9xf2tlxBZBkTBU5lQ9ioxYAOiOvI_SrexRu8ELCoR5p3r1VRPLAXXJ7vcHk/s320/kong.gif)
Waktu
berangkat dewasa dia jadi pegawai negeri kelas teri tapi sesudah selang
beberapa tahun dia memutuskan mendingan copot diri saja. Sepanjang enam
belas tahun berikutnya Kong Hu-Cu
jadi guru, sedikit demi sedikit mencari pengaruh dan pengikut anutan
filosofinya. Menginjak umur lima puluh tahun bintangnya mulai bersinar
karena dia dapat kedudukan tinggi di pemerintahan kota Lu.
Sang
nasib baik rupanya tidak selamanya ramah karena orang-orang yang dengki
dengan ulah ini dan ulah itu menyeretnya ke pengadilan sehingga bukan
saja berhasil mencopotnya dari kursi jabatan tapi juga membuatnya
meninggalkan kota. Tak kurang dari tiga belas tahun lamanya Kong Hu-Cu berkelana ke mana kaki melangkah, jadi guru keliling, baru pulang kerumah asal lima tahun
sebelum wafatnya tahun 479 SM.
Kong Hu-Cu
kerap dianggap selaku pendiri sebuah agama; anggapan ini tentu saja
meleset. Dia jarang sekali mengkaitkan ajarannya dengan keTuhanan,
menolak perbincangan alam akhirat, dan mengelak tegas setiap omongan
yang berhubungan dengan soal-soal metaflsika. Dia -tak lebih dan tak
kurang- seorang filosof sekuler, cuma berurusan dengan masalah-masalah
moral politik dan pribadi serta tingkah laku akhlak.
Ada dua nilai yang teramat penting, kata Kong Hu-Cu,
yaitu “Yen” dan “Li:” “Yen” sering diterjemahkan dengan kata “Cinta,”
tapi sebetulnya lebih kena diartikan “Keramah-tamahan dalam hubungan
dengan seseorang.” “Li” dilukiskan sebagai gabungan antara tingkah laku,
ibadah, adat kebiasaan, tatakrama dan sopan santun.
Pemujaan terhadap leluhur, dasar bin dasarnya kepercayaan orang Cina bahkan sebelum lahirnya Kong Hu-Cu, lebih diteguhkan lagi dengan titik berat kesetiaan kepada sanak keluarga dan penghormatan terhadap orang tua. Ajaran Kong Hu-Cu
juga menggaris bawahi arti penting kemestian seorang istri menaruh
hormat dan taat kepada suami serta kemestian serupa dari seorang warga
kepada pemerintahannya. Ini agak berbeda dengan cerita-cerita rakyat
Cina yang senantiasa menentang tiap bentuk tirani. Kong Hu-Cu yakin, adanya negara itu tak lain untuk melayani kepentingan rakyat, bukan terputar balik. Tak jemu-jemunya Kong Hu-Cu
menekankan bahwa penguasa mesti memerintah pertama-tama berlandaskan
beri contoh teladan yang moralis dan bukannya lewat main keras dan
kemplang. Dan salah satu hukum ajarannya sedikit mirip dengan “Golden
Rule” nya Nasrani yang berbunyi “Apa yang kamu tidak suka orang lain
berbuat terhadap dirimu, jangan lakukan.”
Pokok pandangan utama Kong Hu-Cu
dasarnya teramat konservatif. Menurut hematnya, jaman keemasan sudah
lampau, dan dia menghimbau baik penguasa maupun rakyat supaya kembali
asal, berpegang pada ukuran moral yang genah, tidak ngelantur. Kenyataan
yang ada bukanlah perkara yang mudah dihadapi. Keinginan Kong Hu-Cu
agar cara memerintah bukan main bentak, melainkan lewat tunjukkan suri
teladan yang baik tidak begitu lancar pada awal-awal jamannya. Karena
itu, Kong Hu-Cu lebih mendekati seorang pembaharu, seorang inovator ketimbang apa yang sesungguhnya jadi idamannya.
Kong Hu-Cu
hidup di jaman dinasti Chou, masa menyuburnya kehidupan intelektual di
Cina, sedangkan penguasa saat itu tidak menggubris sama sekali
petuah-petuahnya. Baru sesudah dia wafatlah ajaran-ajarannya menyebar
luas ke seluruh pojok Cina.
Berbetulan dengan munculnya dinasti
Ch’in tahun 221 SM, mengalami masa yang amat suram. Kaisar Shih Huang
Ti, kaisar pertama dinasti Ch’ing bertekat bulat membabat habis penganut
Kong Hu-Cu dan memenggal mata rantai yang menghubungi masa lampau. Dikeluarkannya perintah harian menggencet lumat ajaran-ajaran Kong Hu-Cu
dan menggerakkan baik spion maupun tukang pukul dan pengacau
profesional untuk melakukan penggeledahan besar-besaran, merampas semua
buku yang memuat ajaran Kong Hu-Cu
dan dicemplungkan ke dalam api unggun sampai hancur jadi abu. Kebejatan
berencana ini rupanya tidak juga mempan. Tatkala dinasti Ch’ing
mendekati saat ambruknya, penganut-penganut Kong Hu-Cu bangkit kembali bara semangatnya dan mengobarkan lagi doktrin Kong Hu-Cu. Di masa dinasti berikutnya (dinasti Han tahun 206 SM - 220 M). Confucianisme menjadi filsafat resmi negara Cina.
Mulai
dari masa dinasti Han, kaisar-kaisar Cina setingkat demi setingkat
mengembangkan sistem seleksi bagi mereka yang ingin jadi pegawai negeri
dengan jalan menempuh ujian agar yang jadi pegawai negeri jangan orang
serampangan melainkan punya standar kualitas baik ketrampilan maupun
moralnya. Lama-lama seleksi makin terarah dan berbobot: mencantumkan
mata ujian filosofi dasar Kong Hu-Cu.
Berhubung jadi pegawal negeri itu merupakan jenjang tangga menuju
kesejahteraan material dan keterangkatan status sosial, harap dimaklumi
apabila di antara para peminat terjadi pertarungan sengit berebut
tempat. Akibat berikutnya, ber generasi-generasi pentolan-pentolan
intelektual Cina dalam jumlah besar-besaran menekuni sampai mata
berkunang-kunang khazanah tulisan-tulisan klasik Khong Hu-Cu. Dan,
selama berabad-abad seluruh pegawai negeri Cina terdiri dari orang-orang
pandangannya berpijak pada filosofi Kong Hu-Cu. Sistem ini (dengan hanya sedikit selingan) berlangsung hampir selama dua ribu tahun, mulai tahun 100 SM sampai 1900 M.
Tapi,
Confucianisme bukanlah semata filsafat resmi pemerintahan Cina, tapi
juga diterima dan dihayati oleh sebagian terbesar orang Cina,
berpengaruh sampai ke dasar-dasar kalbu mereka, menjadi pandu arah
berfikir selama jangka waktu lebih dari dua ribu tahun.
Ada beberapa sebab mengapa Confucianisme punya pengaruh yang begitu dahsyat pada orang Cina. Pertama, kejujuran dan kepolosan Kong Hu-Cu
tak perlu diragukan lagi. Kedua, dia seorang yang moderat dan praktis
serta tak minta keliwat banyak hal-hal yang memang tak sanggup
dilaksanakan orang. Jika Kong Hu-Cu
kepingin seseorang jadi terhormat, orang itu tidak usah bersusah payah
menjadi orang suci terlebih dahulu. Dalam hal ini, seperti dalam hal
ajaran-ajarannya yang lain, dia mencerminkan dan sekaligus
menterjemahkan watak praktis orang Cina. Segi inilah kemungkinan yang
menjadi faktor terpokok kesuksesan ajaran-ajaran Kong Hu-Cu. Kong Hu-Cu
tidaklah meminta keliwat banyak. Misalnya dia tidak minta orang Cina
menukar dasar-dasar kepercayaan lamanya. Malah kebalikannya, Kong Hu-Cu
ikut menunjang dengan bahasa yang jelas bersih agar mereka tidak perlu
beringsut. Tampaknya, tidak ada seorang filosof mana pun di dunia yang
begitu dekat bersentuhan dalam hal pandangan-pandangan yang mendasar
dengan penduduk seperti halnya Kong Hu-Cu.
Confucianisme
yang menekankan rangkaian kewajiban-kewajiban yang ditujukan kepada
pribadi-pribadi ketimbang menonjolkan hak-haknya -rasanya sukar dicerna
dan kurang menarik bagi ukuran dunia Barat. Sebagai filosofi kenegaraan
tampak luar biasa efektif. Diukur dari sudut kemampuan memelihara
kerukunan dan kesejahteraan dalam negeri Cina dalam jangka waktu tak
kurang dari dua ribu tahun, jelaslah dapat disejajarkan dengan
bentuk-bentuk pemerintahan terbaik di dunia.
Gagasan filosofi Kong Hu-Cu
yang berakar dari kultur Cina, tidaklah berpengaruh banyak di luar
wilayah Asia Timur. Di Korea dan Jepang memang kentara pengaruhnya dan
ini disebabkan kedua negeri itu memang sangat dipengaruhi oleh kultur
Cina.
Saat ini Confucianisme berada dalam keadaan guram di Cina.
Masalahnya, pemerintah Komunis berusaha sekuat tenaga agar kaitan alam
pikiran penduduk dengan masa lampau terputus samasekali. Dengan gigih
dan sistematik Confucianisme digempur habis sehingga besar kemungkinan
suatu saat yang tidak begitu jauh Confucianisme lenyap dari bumi Cina.
Tapi karena di masa lampau, akar tunggang Confilcianisme begitu dalam
menghunjam di bumi Cina, bukan mustahil -entah seratus atau seratus lima
puluh lahun yang akan datang - beberapa filosof Cina sanggup
mengawinkan dua gagasan besar: Confucianisme dan ajaran ajaran Mao
Tse-Tung.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar